Catatan Air

Sound Bite, ‘Ranjau’ Komunikasi Para Politisi

Sound Bite, ‘Ranjau’ Komunikasi Para Politisi

Masih ingatkah anda dengan kalimat pamungkas Anas yang berkata, “satu rupiah saja Anas korupsi hambalang, gantung Anas di Monas?” Ucapan mantan Ketua Umum Partai Demokrat itu begitu menghebohkan publik tanah air. Ramai menjadi bahan pembicaraan masyarakat, bahkan sampai sekarang banyak pihak yang terus menagih janji Anas tersebut.

Namun, ingatkah anda dengan kalimat lengkap yang diucapkan Anas sebelum dan sesudah potongan ucapannya di atas tadi? Saya yakin banyak di antara anda yang tidak ingat, atau bahkan tidak tahu sama sekali. Mungkin karena lupa, tidak terlalu memperhatikan, atau sama sekali tidak pernah mendengar. Apapun alasannya, bagi saya penyebab utamanya adalah karena perkataan lain yang dia ucapkan tidak diangkat secara lengkap oleh media. Inilah yang dalam konteks komunikasi politik disebut dengan sound bite.

Sound bite adalah terminologi yang digunakan oleh jurnalis televise atau reporter radio yang menyebutnya sebagai klip atau pemenggalan potongan pernyataan yang penting (Kaid & Haltz-Bach, 2008). Menurut Lilleker (2005), sound bite merupakan satu garis kalimat yang diambil dari pidato atau pernyataan yang panjang atau dari seperangkat teks yang dapat digunakan sebagai indikasi dari pesan yang lebih besar.

Seperti yang kita ketahui media elektronik memiliki keterbatasan dalam hal waktu. Oleh karenanya konsep penyampaian berita harus dikemas sesingkat mungkin, dengan hanya mengedepankan potongan-potongan pernyataan atau wawancara dari narasumber, termasuk politisi dalam hal ini. Potongan-potongan inilah yang biasa disebut ‘bite’ oleh para jurnalis media elektronik, dengan mengangkat atau menggarisbawahi (highlight) pernyataan-pernyataan yang dianggap penting atau menohok (punching) atau emosional yang sebisa mungkin mampu memancing diskusi publik yang panas.

Sound bite banyak dialami oleh para politisi baik dalam maupun luar negeri. Selain kasus Anas di atas yang menjadi pembuka tulisan ini, salah satu kasus sound bite yang menghebohkan juga pernah terjadi pada J.F Kennedy saat media internasional mengangkat potongan pidatonya di Berlin Jerman yang mengatakan, “Ich bin ein Berliner” (saya adalah orang Berlin). Pesan ‘bite’ ini memberi pengaruh besar bagi Jerman Barat, sebab Amerika melalui Presidennya seolah menunjukkan dukungannya terhadap konflik disintegrasi Jerman pada masa itu (Henry & Racmah, 2012).

Sound bite merupakan satu dilema dalam proses jurnalistik yang mesti menjunjung tinggi asas berimbang dan komprehensif. Di satu sisi, durasi waktu satu atau dua jam siaran berita atau bahkan dua menit untuk breaking news tentu tidak memungkinkan media untuk dapat menayangkan seluruh wawancara atau pidato para politisi secara lengkap, dengan content yang harus dibagi pula bersama berita hasil liputan jurnalis lainnya.

Namun di sisi lain proses sound bite ini kerap kali menjadi ‘ranjau’ bagi para politisi yang tidak berhati-hati. Rekaman argumen atau jawaban politisi yang mendetail tentang suatu persoalan hasil liputan jurnalis, seringkali digunting di meja editor dengan hanya menayangkan kata-kata berbau sensasi yang diharapkan dapat memancing emosi audiens. Yang mana tak jarang kalimat sensasi yang bukan bagian utama dari statement justru merugikan politisi tersebut. Membentuk opini publik yang buruk terhadap citra dirinya. Menanggapi hal ini, sering kita dengar politisi berkata, “seharusnya media menanyangkan secara keseluruhan pernyataan saya, agar masyarakat tahu yang sebenarnya.”

Hubungan antara media dengan politisi sebenarnya dapat dikatakan berlangsung dalam konsep simbiosis mutualisme. Media massa yang bertugas memberitakan dinamika dan proses politik yang terjadi membutuhkan para politisi sebagai narasumber yang terkait dan kredibel dalam hal ini. Dan begitu juga dengan para politisi yang membutuhkan media sebagai alat penyampaian visi, misi, argumen, serta kinerja mereka pada masyarakat yang menjadi konstituennya. Sebagai usaha membangun citra dan membuktikan pada konstituennya bahwa dirinya (sebagai kandidat atau pajabat terpilih) layak dipilih sebagai wakil mereka. Masalahnya, jika suatu waktu terjadi clash antara sang politisi dengan media karena perbedaan kepentingan, ideologi, atau hal lainnya. Disinilah kemungkinan besar media akan memberi ‘serangan’ untuk mendukung kepentingannya, yang salah satu caranya dengan konsep sound bite yang dibungkus untuk membentuk opini publik yang negatif terhadap sang politisi. Dan sebaliknya, sound bite juga dapat dibungkus untuk membangun citra positif politisi, terutama jika politisi tersebut merupakan sosok media darling yang tengah menuju atau sudah berada di puncak kepopulerannya.

Dengan memahami segala keterbatasan yang dimiliki media, terutama media elektronik, sound bite memang merupakan satu keadaan pengecualian atas azas komprehensifitas jurnalisme. Masyarakat harus menerima sound bite culture yang tidak dapat memberikan gambaran keseluruhan tentang pernyataan para politisi. Namun tentu hal ini bukan berarti media boleh sesuka hati membungkus sound bite untuk kepentingan rating, politik, atau bentuk keuntungan pribadi lainnya. Yang dengan sengaja men-setting sound bite untuk memancing emosi, konflik, atau bahkan sekedar memecah masyarakat dalam perdebatan pro-kontra terhadap sosok politisi yang diberitakan. Sebab media harus pula berusaha menghindari timbulnya kesalahpahaman atau interpretasi keliru yang disengaja pada masyarakat, dan menjunjung tinggi azas kebenaran sebagai elemen pertama pada jurnalisme yang tidak boleh ditawar dengan pengecualian apapun.

Arsip

Kategori